Dua Dekade Seruan Tutup TPL, Apakah Kali Ini Berbuah Solusi?

Medan, NetNews.co.id – Seruan untuk menutup PT Toba Pulp Lestari (TPL) kembali menggema di tengah masyarakat Sumatera Utara, khususnya kawasan Tapanuli atau Tano Batak. Pimpinan Gereja-gereja di wilayah ini, dipelopori oleh Ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pdt. Dr. Victor Tinambunan, menuntut penghentian operasional perusahaan bubur kertas yang telah beroperasi lebih dari tiga dekade tersebut. Namun, suara ini memicu perdebatan sengit di masyarakat dan pengamat, antara dukungan dan skeptisisme.

Seruan tutup TPL bukan hal baru. Sejak 22 tahun lalu, gerakan ini sudah beberapa kali muncul, tetapi tidak pernah berbuah penutupan. “Seruan ini merupakan pengulangan dari tuntutan lama yang tidak pernah membuahkan hasil konkret,” ungkap seorang pengamat kebijakan publik yang enggan disebut namanya saat sesi investigasi, Rabu (9/7/2025).

Ia menilai bahwa fokus utama tuntutan selama ini lebih pada dampak ekologis dan sosial dari operasional TPL, terutama terkait kerusakan lingkungan dan konflik masyarakat adat.

Namun, menurutnya, data dan kajian dari lembaga internasional independen menunjukkan bahwa perusahaan menjalankan operasional dengan tata kelola lingkungan yang cukup baik. “Kita harus jujur melihat data yang ada, apakah industri ini benar-benar ‘kutukan’ atau justru ‘berkat’ bagi masyarakat dan daerah,” katanya.

Kehadiran TPL memang membawa dampak ganda. Di satu sisi, perusahaan menyediakan lapangan kerja dan membantu pertumbuhan ekonomi kawasan Tano Batak. Di sisi lain, terdapat sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penggusuran dan kriminalisasi masyarakat adat serta kerusakan lingkungan akibat pengelolaan konsesi yang dianggap kurang tepat.

Mantan Ketua Pengawas Yayasan Nomensen, Capt. Anthon Sihombing, yang juga mantan pejabat dan tokoh masyarakat di Tarutung, menilai seruan penutupan TPL belum tepat. “Ephorus yang baru enam bulan bertugas sudah menyuarakan penutupan TPL, padahal masih banyak persoalan internal gereja dan masyarakat yang harus diutamakan,” ujarnya kepada media di Tarutung, 2 Juni 2025 dilansir dari Kompas.com.

Anthon menjelaskan, perusahaan yang berdiri sejak era PT Inti Indorayon Utama tersebut sejatinya telah membawa perubahan positif. “Dampak TPL bagi masyarakat sangat nyata, dari sisi ekonomi dan penyediaan lapangan kerja. Alih-alih menutup, pengawasan dan pembenahan operasional lebih tepat dilakukan,” tegasnya.

Sementara itu, Pimpinan HKBP, Pdt. Victor Tinambunan, secara terbuka menyatakan bahwa penutupan TPL adalah panggilan iman dan kepedulian terhadap masa depan ekologis dan sosial Tano Batak. “Ini bukan desakan emosional, melainkan langkah preventif menghindari krisis yang lebih parah,” kata Victor, dikutip dari Liputan6.com pada 7 Mei 2025.

Dukungan terhadap seruan ini juga datang dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara (JAMSU). Sekretaris Eksekutif Bakumsu, Sandres Siahaan, mengatakan, “Operasional TPL telah menimbulkan kerusakan lingkungan, konflik agraria, dan kriminalisasi masyarakat adat. Ini adalah tanggung jawab moral dan sosial yang harus ditanggapi serius” seperti dilansir dari Tirto.id, (12 Mei 2025).

Di sisi lain, Direktur PT TPL, Jandres Silalahi, membantah tudingan tersebut. “Kami menolak tegas tuduhan yang menyatakan operasional kami merusak lingkungan. Semua kegiatan sudah sesuai izin dan regulasi pemerintah,” katanya saat wawancara eksklusif dengan Detik.com, 15 Mei 2025.

Jandres juga menegaskan bahwa TPL menjalankan sistem tanam-panen berkelanjutan di konsesi seluas 167.912 hektar, dengan hampir sepertiganya dialokasikan sebagai kawasan konservasi dan lindung. Selain itu, perusahaan mengklaim mempekerjakan lebih dari 9.000 orang dan mendukung sekitar 50.000 jiwa di wilayah operasionalnya, termasuk pekerja langsung, keluarga, dan mitra usaha kecil (UKM).

Dukungan publik terhadap penutupan TPL juga terlihat dari aksi massa yang digelar ratusan masyarakat adat, petani, mahasiswa, dan organisasi sipil di depan DPRD dan Kantor Bupati Tapanuli Utara pada Mei 2025. Massa menuntut penghentian operasional TPL karena dianggap sumber penderitaan dan ketimpangan sosial di Tano Batak.

Wakil Ketua DPRD Taput, Reguel Simanjuntak, menyatakan dukungannya terhadap penutupan TPL dan berjanji membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk membahas langkah ini lebih lanjut. Namun, sikap Pemkab Tapanuli Utara masih dinilai kurang tegas. Wakil Bupati Deni Lumbantoruan menyampaikan bahwa tuntutan tersebut sedang dibahas dengan Bupati yang sedang berada di Jakarta.

Ketua Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL, Anggiat Sinaga, menyatakan perjuangan mereka belum selesai. “Kami akan kembali turun dengan massa lebih besar demi keadilan bagi masyarakat adat dan kelestarian lingkungan,” ujarnya dilansir dari Republika.co.id, (20 Mei 2025).

Pengamat kebijakan sosial menyarankan agar semua pihak, termasuk pimpinan gereja, pemerintah, dan PT TPL, duduk bersama dalam forum dialog terbuka. Tujuannya untuk mencari solusi bersama tanpa menimbulkan konflik sosial berkepanjangan.

“Gereja harus memberikan ruang bagi dialog, bukan sekadar menuntut tutup. Pemilik perusahaan juga perlu mengakui kekurangan dan mendengarkan aspirasi masyarakat,” ujar pengamat itu.

Momentum ini membuka peluang bagi perbaikan tata kelola industri dan lingkungan di kawasan Tano Batak yang selama ini penuh dinamika. Namun, apakah seruan dua dekade untuk menutup PT TPL kali ini akan berbuah solusi yang nyata, masih harus dibuktikan lewat proses dialog, kebijakan pemerintah, dan komitmen semua pihak.

(Red)

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait
Our site uses cookies. Learn more about our use of cookies: cookie policy